Bersyukur di era sosial media ini akun-akun yang mengajak untuk mulai berinvestasi sekaligus menjelaskan tentang melek finansial semakin menjamur. Memang akan lebih mudah bagi kita untuk mulai menabung & berinvestasi (yup, antara menabung dan berinvestasi menjadi 2 kata terpisah) jika orang-orang di sekitar kita juga semangat melakukannya. Postingan ini tidak membahas soal instrumen-instrumen investasi atau pun tips-tips investasi, tapi lebih ke curhat kenapa dulu takut berinvestasi.
Throwback ke masa kuliah magister
Kalau ngomongin soal keuangan pribadi, saya tidak bisa tidak mengingat masa-masa kuliah S2 saya. Sebelumnya sebagai informasi, saya langsung melanjutkan studi ke S2 setelah sebelumnya sempat “menganggur” 6 bulan pasca-kelulusan sarjana.
Ketika masih S1 dengan uang bulanan 1 juta per bulan sudah cukup untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan kuliah, termasuk budget bersosial. Namun ketika S2 kondisi keuangan terasa jauh berbeda. Memang saat saya lanjut ke jenjang magister uang bulanan saya “naik” dari 1 juta menjadi 1,5 juta sudah termasuk biaya kosan yang kali ini bayarnya per bulan. Jadi sebenarnya uang bulanan saya ga naik-naik amat, kalau semisal uang kosan adalah 300ribu maka uang bulanan saya berarti sekitar 1,2 juta. Namun entah kenapa hidup ga bisa se-selow waktu S1 dan kayaknya kok duit cepet banget habisnya, disini lah saya merasakan dampak “inflasi” dalam hidup saya tapi waktu itu saya belum sadar….
Ongkos angkot naik seribu rupiah….
Gorengan yang dulu seribu dapet tiga jadi seribu dapet satu….
Kafe & makanan kekinian yang saat itu baru mulai menjamur tapi harganya mahal, tapi dibela-belain karena penasaran…
Namun demikian rasanya malu buat minta lebih ke orang tua, selain karena teman-teman seumurku sudah pada mandiri dan yah, umur segini kayaknya udah ga pantes rasanya masih ngerepotin orang tua soal duit, apalagi buat S2 ini adalah permintaanku sendiri. Dan Alhamdulillah, saya dikeliling teman-teman yang suportif. Yang bukan tukang hedon, yang bisa tetap senang-senang tanpa harus boros, yang udah senang cuma nongkrong rame-rame di kosan temen. Ya memang buat happy ga harus mahal.
Keuangan semakin sekarat….
Semakin menjelang tesis keuangan semakin megap-megap. Waktu itu saya diliputi perasaan bingung tentang keuangan saya yang kok tiba-tiba udah mau habis aja gitu. Sampai kepikiran dong buat makan hanya super bubur yang seribuan, mie gaga cup yang susu, serta indomie dan teman-temannya. Mungkin kalau pada masa itu jadi youtuber udah ngetren, saya bisa bikin sekian macam variasi makan super bubur murah & nikmat haha. Sampai kemudian ada teman saya yang masuk rumah sakit karena ususnya “lengket” (kalau ga salah) karena sebulan cuma makan indomie. Korban indomie tersebut mengaku bahwa tujuan awalnya adalah mau berhemat namun malah jadi tekor karena uang rumah sakit mahaalllll. Di situ saya mikir ulang lagi soal perduitan ini…..
Ketika keuangan mulai terasa sangaat tipis, saya menyadari sesuatu ketika saya ngeprint buku tabungan : ternyata biaya admin lumayan juga ya. Di situ saya sadar bahwa menabung doang pada dasarnya saya rugi, biaya admin mahal, bunganya pun ga berasa, bahkan bunga tabungan saya saat itu kayaknya buat jajan gorengan aja ga cukup.
Belajar berinvestasi dengan mengenal instrumen-intrumennya
Dengan tekad dan semangat menolak jadi miskin, akhirnya saya mencari tahu apa saja instrumen-instrumen perbankan dan syarat-syaratnya. Waktu itu sekitar tahun 2012, tidak seperti sekarang dimana ilmu-ilmu seputar personal finance banyak menjamur di sosial media dan internet, dulu untuk belajar hal-hal tersebut harus ikut kursus berbayar. Sebagai mahasiswa kere tapi kete, tentu saja saya ga ikutan dong, wong ga ada duit. Tanya ke teman seangkatan yang paling melek duit, eh dia nya masih sombong dan pelit ilmu banget waktu itu (tapi sekarang udah engga sih). Tapi akhirnya teman saya ini bantuin ngasih insight soal personal finance waktu saya sudah nyusun tesis, mungkin kasihan kali ya saya terlihat desperate banget.
Walhasil saya yang mahasiswa desain yang jarang banget berurusan dengan ekonomi mulai sering baca-baca artikel investing untuk pemula, belajar apa itu reksadana dan jenis-jenisnya, obligasi, deposito, saham, forex. Tapi dibaca-baca tetap aja ga ngerti-ngerti. Coba-coba baca prospektus tapi malah bikin mata siwer kepala pening. Ketemu kamus istilah investor untuk pemula sampai harus nyalin ke binder dengan harapan semoga semakin mengerti. Dipikir-pikir kok dulu bego ya gitu aja ga ngerti, tapi bangga juga karena mau berusaha dan mau belajar. Kalau ga pernah mulai belajar mungkin sampai sekarang tetap “bego”. Wajar, yang namanya baru mulai pasti “bego” dulu lah.
Saya yang keuangannya cukup tight saat menghadapi tesis ga bisa membayangkan coba-coba investasi trus rugi. Konon katanya high risk high gain, but at that moment I couldn’t afford to lose. Semenjak itu saya bertekad kalau sudah punya penghasilan akan disisihkan untuk berinvestasi di berbagai bentuk instrumen investasi supaya ngerti dan tau alias merasakan sendiri. Selagi belum ada duitnya, belajar aja banyak-banyak dulu biar kalau invest lebih banyak untungnya daripada ruginya.
Takut karena gak tahu
Akhirnya ketika saya sudah berpenghasilan, saya mulai mencoba instrumen-instrumen investasi mulai dari yang paling aman sampai yang paling berisiko. Yang paling aman dan paling umum setelah tabungan tentu saja deposito, setelah punya deposito saya coba invest di reksadana, lalu lanjut ke saham, emas, crowdfunding, peer-2-peer lending. Yang belum pernah sih cuma forex aja, tapi forex juga santai sih, karena memang kadang-kadang saya terima fee non-rupiah jadi yaa anggap aja sekalian invest di forex hehe. Oh, saya juga kurang tertarik dengan cryptocurrency, tapi itu bahasnya lain kali aja ya.
Mencoba dan merasakan sendiri memang menimbulkan rasa percaya diri untuk berinvestasi. Memang rasa takut karena tidak tahu itu jadi terasa lebay setelah kita melaluinya (meskipun itu adalah sesuatu yang wajar). Dulu ketika membeli saham pertama kali saya hanya keluar budget sebesar Rp.300,000 dengan pemikiran : “Yah kalau rugi habis semua ya udahlah”. Penasaran pengen ngelihat dengan mata kepala sendiri si uang 300 ribu itu lenyap tak bersisa. Tapi akhirnya saya belajar bahwa kerugiannya lebih kepada persentase, jadi uangnya ga lenyap begitu saja haha. Yah, rugi dalam investasi memang wajar sih, yang penting bagaimana kita mengelola supaya investasi kita menguntungkan dan kalau rugi tidak jeblos-jeblos amat. Memang pada akhirnya untuk menghilangkan rasa takut yang efektif adalah dengan menghadapi rasa takut tersebut. Namun hati-hati, ketika keberanian sudah muncul dan kemampuan sudah ada, jangan sampai takabur. Balik lagi, investasi itu adalah persoalan manajemen diri, terlalu pede bisa bablas, terlalu takut juga tidak menguntungkan.
Emang benar sih, Mbak, kalau investasi itu semakin gede resiko, semakin gede keuntungan yang bisa didapat. Kalau gak pengen rugi pilihan terbaiknya memang deposito, tapi kekurangannya deposito kan gak bisa diambil sewaktu-waktu. Kalau belum jatuh tempo sudah diambil, bisa kena pinalti. Hehehe.
Kalau saham, harganya kan bisa naik turun. Jadi kalau kali ini harganya turun, ya tunggu aja sampai harganya naik baru dijual lagi.
Untuk deposito, sempat bikin deposito ke bank BCA dan BNI Syariah itu udah ga kena pinalti mbak, tapi bunga berjalannya ga dapet alias hangus kalau diambil sebelum jatuh tempo.
Kalau saham sebenarnya tergantung strategi investingnya juga kalau saya, soalnya saya tipe yang jual rugi kalau udah sampai angka tertentu, kecuali kalau memang masih yakin sahamnya bakal naik lagi di kemudian hari. Soalnya ini berkaca dari temen yang ga berani cut-loss dan sahamnya anjlok terus dan nunggu naiknya lamaaa banget bertahun-tahun. Kalau saya sih lebih prefer gapapa rugi dikit asal uang penjualan sahamnya dimasukin lagi ke saham (atau investasi lain) yang performancenya bagus, jadi si rugi itu bisa ketutup lagi dengan keuntungan selanjutnya daripada nungguin si saham yang ga naik2 itu. Tapi again, balik lagi sama keyakinan masing2 dan optimisme kita sama saham yang kita pilih juga ujung2nya.