Sebelum istilah Interaction Design (IxD) populer seperti sekarang, kita telah mengenal istilah ini sebagai Human Computer Interaction (HCI). HCI saat itu masih lebih berupa aktivitas dan proses berpikir tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan produk. Pada masa lalu pendekatan terhadap HCI masih diasosiasikan dengan perfilman, asumsi saya adalah dikarenakan adanya interaksi manusia dengan layar, oleh karena itu muncullah metodologi Five Dimension ini . Dalam sejarah perfilman, kita mungkin pernah mendengar Cinema 2D, 3D dan juga 4D. Namun, Kevin Silver, seorang senior desain interaksi, menambahkan dimensi ke-5 dalam jurnalnya yang berjudul ‘What Puts The Design in Interaction Design‘. Penambahan dimensi kelima ini lah yang pada akhirnya membedakan sebuah interaksi dalam HCI dan sinematografi.
1D : Tulisan/Kata-kata
Tulisan atau kata-kata adalah cara berkomunikasi yang umum kita lihat dalam HCI. Misalnya, dari berbagai tombol yang ada pada tampilan layar, kita bisa menemukan tombol bertuliskan ‘Lanjutkan’, untuk menuju halaman web selanjutnya atau tombol ‘Bayar’ untuk lanjut ke proses pembayaran ketika melakukan transaksi online di marketplace.
2D : Representasi Visual
Yaitu segala macam gambar & grafik yang ada dalam tampilan. Singkatnya, visual apapun selain text.
3D : Objek Fisik
Mengacu pada benda fisik, misalnya mouse atau keyboard pada komputer. Namun dalam industri perfilman, objek fisik yang ditekankan lebih kepada ilusi objek, sehingga penonton bisa melihat bentuk tidak hanya flat namun juga memiliki dimensi dan perspektif bentuk. Saya juga menduga selain perspektif bentuk, benda fisik untuk “memfasilitasi” rekayasa perspektif seperti kacamata 3D juga menjadi pertimbangan sebuah film disebut “Film 3 Dimensi”
4D : Waktu
Waktu di sini diartikan sebagai lamanya pengguna berinteraksi dengan 3 dimensi sebelumnya. Termasuk didalamnya bagaimana pengguna menikmati suara dan animasi.
5D : Tindakan
Merupakan “dimensi tambahan” yang ditambahkan oleh Kevin Silver pada metodologi Five Dimension ini. Hal ini mencakup emosi & reaksi yang dilakukan user ketika berinteraksi dengan sistem.
Ketika saya membaca metodologi ini entah kenapa saya “mengerti” kenapa metodologi ini kurang populer. Karena menyamakan dunia UX dengan dunia sinematografi tampak seperti sesuatu yang terlalu dipaksakan. Toh sinematografi yang masih kita nikmati saat ini tetap menempatkan penonton sebagai user yang pasif. Seperti contohnya kegiatan menonton bioskop yang konon masih hits di kalangan kita. Kalaupun ada sensasi tambahan seperti bioskop 4DX atau apalah toh penontonnya juga hanya bisa pasrah dengan segala kejutan dan visualisasi yang disajikan.
Artikel ini merupakan bagian dari Kumpulan Catatan tentang Metodologi dalam Desain Interaksi, lihat artikel lainnya melalui tautan berikut: