Seperti judulnya, buku ‘Good Vibes, Good Life’ jelas-jelas akan masuk ke dalam genre self-improvement alias pengembangan diri. Buat teman-teman yang mengikuti saya di instagram mungkin cukup sering melihat saya memfoto cuplikan-cuplikan buku apalagi buku motivasi, kenapa? Karena buku motivasi adalah tema yang paling gampang diterima semua orang tanpa harus mengikuti alur buku keseluruhan.
Meskipun saya penyuka buku-buku motivasi sebagai pengingat hidup, namun soal memfavoritkan buku itu perkara lain. Banyak buku motivasi yang saya sukai, namun buku ini bukanlah salah satunya, tapiii saya pun tidak membenci buku ini.
“Too Positive”, it becomes unreal (?)
Hal yang saya rasakan ketika membaca buku ini adalah buku ini terlalu positif. Terlalu positif dan kurang “hentakan” atau “kejutan” atau “aha moment”. Tentu saja di isinya ada klaim bahwa tips-tips yang diberikan tentu tidak semudah yang diucapkan/dituliskan. Namun tidak dapat saya pungkiri ketika membaca buku ini rasanya seperti sedang scrolling akun motivasi di Instagram yang mana tiap kalimat-kalimat motivasi dikemas dengan ,uhm, lebih panjang?
Saya sendiri saat menulis review di blog ini masih berpikir, apa sih yang bikin buku ini bagi saya kurang greget? Apakah saya terkena sindrom Mark Manson yang lebih suka gaya berbahasa yang “vulgar” sehingga terkesan “lebih jujur” daripada kalimat-kalimat Vex King yang seolah-olah dikemas hati-hati? Ah rasanya enggak juga…
Akhirnya saya mengambil kesimpulan sementara bahwa hal yang membuat saya kurang greget terhadap buku ini adalah ajakannya untuk menjadi “the best version of you” namun cara saya dan Vex King memandang “best version of ourselves” ini tampaknya berbeda. Vex King pada akhirnya sampai kepada bagaimana perbuatan-perbuatan baik dan usaha untuk berbuat baik itu pada akhirnya kita yang paling akan merasakan efeknya. Dalam buku Vex King ini sangat kental sekali semangat-semangat Self Love. Namun buat saya justru bagaimana perbuatan-perbuatan baik dan usaha saya untuk berbuat baik itu orang lain yang paling merasakan efeknya. Mengutip Mas Gembi, “Saya mah gampang”.
Good Vibes Frekuensi Positif
Sebenarnya apa sih padanan Bahasa Indonesia yang tepat buat kata “Vibes“? Tadinya mau nulis getaran tapi kok agak aneh ya. Kayak kurang pas gitu. Akhirnya pake kata “frekuensi”, karena orang-orang sering pakai kata ini semisal “Aku senang ngobrol sama dia soalnya kayak se-frekuensi gitu” atau dengan kata lain ketika orang bilang se-frekuensi itu bisa dibilang “vibes-nya nyambung”.
Sesuai judul bukunya, di buku ini juga membahas tentang “getaran” atau frekuensi seseorang. Menurut saya ini termasuk bagian yang menarik dari buku ini. King mengatakan bahwa apa pun yang ada di dunia ini jika dipecah menjadi unsur terkecil maka unsur terkecil itu adalah atom dan atom itu “bergetar”. Alam semesta kita adalah lautan getaran yang setiap getarannya memiliki secuil informasi. Oleh sebab itu kadang entah bagaimana kita bisa merasakan seseorang tampak “bad mood” meskipun secara fisik tampak biasa saja, namun entah kenapa “aura”nya beda.
Berdasarkan The Law of Vibration, untuk mendapatkan frekuensi positif maka kita juga harus “memancarkan” getaran yang positif. Begitu pun sebaliknya, ketika kita depresi dan stress sering kali keadaan malah bertambah kacau karena kita meng-amin-kan kesialan tersebut sehingga menarik kesialan-kesialan lainnya. Namun jika dalam kesulitan tersebut kita memaksakan dan melatih diri melihat sisi positifnya, Insya Allah ada hal-hal baik yang tertarik dari usaha positif kita. Good thing attract good things, bad thing attract bad things.
Positif menarik positif, Negatif menarik negatif
Jika kita berucap baik dan bertingkah laku baik biasanya kita akan menarik orang-orang yang seperti itu pula. Namun, ada kecenderungan yang beredar (terutama pengaruh meme & komik sosial media), yaitu ketika kita ngomong “kasar” maka kita menganggap orang itu sudah dekat.
Misalnya kita melihat teman kita lalu kita berucap : “Jelek banget sih lo hari ini kayak kuda nil kesepian”. Lalu teman kita membalas “Berisik lo! Dasar dugong ompong”. Memang untuk melontarkan kata-kata seperti ini perlu diperhatikan tingkat keterdekatan seseorang dengan orang lain. Orang-orang seperti ini pada akhirnya akan menarik orang-orang yang gaya ngobrolnya seperti ini, agak-agak sarkas gitu deh. Bahkan orang yang gak sarkas pun ketika berbicara dengan orang ini mungkin bisa jadi sarkas karena orang yang tidak sarkas ini memperhatikan cara ngobrolnya yang seperti itu. Belum lagi orang yang “kepingin” dekat sehingga meniru-niru cara berbicaranya. Tersinggung karena merasa gak dekat? Yah habis kamunya juga “menyebarkan” vibes yang seperti itu, jadi orang-orang merasa wajar me-“approach” kamu dengan cara begitu.
Kesimpulan tentang buku Good Vibes, Good Life
Ya, jika kamu suka bacaan santai dengan flow yang santai pula. Banyak gagasan di buku ini cukup praktikal meskipun seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, buku ini kekurangan punch yang membuat buku ini jadi terasa biasa saja buat saya.
Overall, untuk skornya saya kasih nilai 3 dari 5.
Selamat membaca dan selamat menyebarkan frekuensi positif!