Suatu hari saat masih kuliah kupernah nanya ke seorang teman (cewe) : “Gimana sih rasanya mabuk?”
Dipikir sekarang, pertanyaan ini terdengar sok alim, sok polos, dan ngeselin buat yang nerima pertanyaan (apalagi kami ga dekat). But back then, it was really pure curiosity and she still answer me anyway.
Dia jawab kurang lebih begini : “Misal ni ya, lo baru mau pertama minum. Lo bakal ngerasa takut atau ragu-ragu, tapi karena lo penasaran or whatever, you still drink it anyway. Rasanya bisa macem-macem tergantung alkohol apa yang lo minum, bisa manis, pahit dst. Kalau lo nanya rasanya mabok, yaaa kayak di film-film itulah, kliyengan, tipsy, ga sadar. Tapi sebenernya lo tuh bisa ngerasa kayak ‘ni kayaknya kalau gw nambah minum lagi mabok deh gw’. Jadi sebelum bener-bener hilang kesadaran lo tuh sebenernya tau kapan perlu berhenti.”
Dan pernyataan temenku itulah yang akan kupakai sebagai analogi dari situationship a.k.a HTS (Hubungan Tanpa Status) yang kualami.
Am I able to detach “The Euphoria”?
Perlu ditekankan sekali lagi kayaknya, aku di sini ga mabuk-mabukan ya, tapi ini contoh permisalan aja.
Ketika pertama kali nyoba alkohol, berhenti itu masih mudah karena adiksinya belum ada. Mungkin cuma akan minum satu-dua teguk lalu udah. But that’s not how alcohol works. Dia akan “bekerja” di kesempatan kedua, ketiga, keempat, dst. Dan sampai pada akhirnya, tanpa disadari, kehadiran alkohol (yang tidak baik buat kesehatan itu) tampak normal-normal saja. Atau malah kita yang menginginkannya.
Mungkin ada rasa sombong dalam diri bahwa kita bisa “mengontrol” alkohol yang baru kita coba minum itu. Berpikir bahwa kita ga mungkin mabuk karena toh kita cuma “nyicip” doang. Kita ga bakal “addict”.
“Lumayan ada teman ngobrol” was the opening. Apalagi ngobrolnya nyambung, ibaratnya seperti ketika nyoba alkohol yang “sesuai selera” dan somehow bikin penasaran. Mungkin kalau alkoholnya terlalu pahit bisa jadi malah kapok dan ga mau lagi. Mulai dari ngobrolin topik A, lanjut topik B, topik C, topik D, topik hidayat, topik savalas (woy ketauan umur), dan topik-topik lainnya. Semua obrolan terasa nyambung, ngalir, asik aja, belum lagi kalau nge-flirt tipis-tipis. “Dih, apaan sih” tapi bacanya sambil senyam-senyum.
Situationship start when you feel “a bit tipsy” in this relationship. You feels relaxed and in a good mood whenever he’s around. You feel the euphoria, a sense of happiness and reduced anxiety. You feel confidence and outgoing over him. You feel that “warm” sensation feelings inside you. But at the same time your ability to make decisions might also be slightly impaired.
Mungkin fase tipsy inilah yang pada akhirnya membuat orang “kecanduan” alkohol. Keinginan untuk memanggil kembali perasaan relax dan euforia yang didapat dari alkohol. Ingin lebih relaks dan euforia lagi sehingga pada akhirnya kita terus menambah tegukan demi tegukan sampai akhirnya sampai di “ujung”, yang kalau kata temen : “ini kalau gw teguk lagi gw pasti mabok”.
Fase mabok dalam situationship mungkin bisa digambarkan dengan diri kita yang sudah helpless seperti orang mabok yang udah kehilangan kesadarannya. The addiction just feel so complicated sehingga rasanya kita rela ngasih apa saja sementara dia ngasih kepastian aja ga bisa. Hal-hal yang kalau terjadi pada orang lain bikin kita pengen nge-judge “lo kok bego sih??”.
“Cinta boleh tapi jangan tolol”
-Teman kantor
Sebenarnya yang jadi masalah kan apa yang diteguk. Minum air sirup 1-2 botol dan minum alkohol 1-2 botol jelas efeknya bakal berbeda untuk tubuh. Kebanyakan minum air rasa-rasa (berpemanis) jelas ga baik buat tubuh tapi bisa jadi lebih mendingan dibanding minum alkohol dengan volume yang sama. Tapi ini bukan masalah mendang-mending, tapi ini adalah sebuah permisalan. Misal dikasih tumblr yang ga bisa dilihat isinya, ketika diminum terasa minumannya “aneh tapi enak”. Dan karena aku either polos atau bego, eik mungkin mikir ini minuman resep tik-tok kali campur-campur sirup sama minuman berkarbonasi sama apalah entah. Tambah tegukan demi tegukan terus sampai akhirnya ngerasa “tipsy” dan disitu (di saat merasakan sensasi “relax” yang belum pernah dirasakan cuma karena minum), namun kesadaran masih ada dan tiba-tiba bikin mikir, “Ini gw minum apa???”. Di saat itu mungkin kita akan berhenti sejenak untuk memutuskan : lanjut minum karena “enak” atau berhenti minum karena “sepertinya ga baik untuk kesehatan”.
Comparing Situationship with Alcohol
Because both was acceptable in society if you do in moderation.
Ketika nonton film-film bule dan melihat adegan wine toast, image yang kebayang adalah mereka wine toast di restoran-restoran high end, tempat dimana orang-orang bisa behave dan have manner. Mungkin selain rasa wine yang menarik (ga tau soalnya ga pernah coba) efek alkohol yang ada pada wine cukup untuk membuat suasana jadi relax, ngomong jadi lancar, jadi lebih terbuka satu sama lain yang pada akhirnya membuat suasana terasa lebih intimate. Mungkin ini adalah contoh dimana alkohol terasa wajar terlepas dari yang minum mungkin tidak ada pantangan kesehatan dan agama. Dan pada akhirnya kita melihat adegan ini seperti wajar-wajar saja.
Sama kayak situationship, hubungan kami hanya sebatas chattingan dan jalan bareng. Something that ‘just a friend’ could do, cuma masalahnya kusudah bawa perasaaan. Make it labeled “situationship” from my side. Mungkin dia ya nganggep aku temen aja gitu, teman chatting, teman jalan bareng. Mungkin dia pengen aku jadi teman jalan dia, menemani dia chat saat bosan atau nemenin jalan saat pengen jalan bareng. Tapi aku pengen dia jadi teman hidupku. Di sini, goal kami udah beda.
“Kamu jadian sama mantan-mantan kamu dari dating app setelah jalan berapa kali?
“Hmm…sekitar 3 kali lah kayaknya”
“Ooh”
Probably the first sign that I could remember for him not wanting me.
Kita udah jalan berkali-kali, to the point aku udah ga ngitung lagi berapa kali aku jalan bareng sama dia. I felt like I was not worth the confession. “Emang butuh suasana atau momen kayak gimana sih buat nembak??”, the stupid question I asked myself while deep down I know the answer: if a man really want the woman he will confess and express his feelings. Face it, Pike : he just doesn’t want you.
Tanda kedua mungkin ketika aku tanya ke dia:
“Menurutmu orang kalau digantungin normalnya berapa lama buat nunggu sebelum move on?”
“Semampumu”
Somewhat a clear indication that he willing to stretch and maintain this status quo situationship while let me decide when this situationshit was going to end. Semampumu my ass.
Lha kok jadi emosi ngetiknya, wk. Yadahlah, lanjut.
At first I was like “halah, dahlah males!”. Normalnya orang akan merespon “ya kalau ga jelas ya tinggalin ajalah” atau mungkin ngasih masa tenggang untuk mastiin bahwa kita punya bounderies. Beberapa teman bilang ya mungkin sekitar 4-6 bulan lah, 4 bulan aja sebenernya udah kelamaan kalau emang masing-masing sama-sama tau kalau punya feeling satu sama lain. Kita ga akan nunggu selamanya, that’s how we protect ourselves dari situasi ga jelas semacam digantungin, by having bounderies when enough is enough.
Sebenarnya ketika momen kedua itu aku sudah merasa : “yasudahlah, sudahi ini”. Aku berusaha ga chat dia lagi (karena biasanya ganti2an aja siapa yang chat duluan). Setiap dia chat tetap aku respon karena aku pikir “yasudahlah, dia teman aku”. Awalnya aku masih merasa bisa menanggapi dia as a friend. Tapi ternyata nanggepin dia as a friend comes with efforts. That amount of efforts and the willingness to maintain “a friendship” while deep down -clearly- I had feelings for him. This situation lead me to something : desperation.
Dammit.
Every Meet-ups was A Happy-Fluffy Moments
Kutak bisa menampik bahwa setiap jalan sama dia itu bawaannya happy aja. Ketika nulis blog ini dan mikir: apa sih yang yang bikin jalan sama dia kerasa happy? Apa karena dia traktir aku makan? Apa karena dia beliin aku barang-barang? Apa karena dia bawain tas aku pas aku lagi capek? Nah, even if we split bill, even he didn’t buy me anything, even if I carry my bag myself, I think I still enjoy his companionship.
Mungkin karena ngobrol nyambung dan sama dia itu kerasa effortless buatku. Meskipun kita ga ngobrol, meskipun ada momen dimana kita diem aja karena aku sibuk celingak-celinguk lihat tenant atau sekeliling. That’s a nice feeling ketika kita memutuskan buat ngobrol atau diam but it didn’t feel awkward at all. Jika bareng aja udah kerasa nyaman, ditambah dengan ‘hal-hal bonus’ yang dia lakukan buat aku rasanya ya ga aneh kalau aku selalu happy. Atau simply mungkin dia ya emang womanizer aja, jadi tau cara nge-treat cewe. Entahlah.
Ada perasaan complicated keesokan hari setelah ketemu dia, dan ini berlaku sebelum muncul tanda kedua. Normalnya ketemu dia skenarionya kurang-lebih begini : ketemu, dia nganter aku pulang sampai stasiun deket rumah, dia balik ke kosannya, selagi dia di jalan aku “temenin” dia chat sampe dia nyampe kosannya. Besoknya (dan mungkin beberapa hari ke depan) aku dan dia ga chattingan. At some point, sebenarnya aku pengen ngobrol /chat sama dia besoknya. Karena ga tau ya, kangen aja gitu. Baru juga ketemu kemaren dah kangen, hadeeh. Tapi entah kenapa kayak ada sesuatu yang menghalangi. Is it a bit too intense? Karena sadar diri, biarpun kita dekat nyatanya ya kita bukan apa-apa.
Setelah tanda kedua, sebenarnya perasaan di atas masih ada, tapi bisa ditepis dengan “yaudahlah, yaudahlah”. Mungkin ini sulitnya ketika otak & hati udah ga sinkron, tanpa aku sadari it’s pilling up. Meskipun masih normal, aku ngerasa (dan mungkin dia pun ngerasa) chat aku ke dia semakin dry text. Awalnya unintentional aja, tapi tiba-tiba keidean : apa disengajain aja ya? jadi biar dari dianya sendiri males ngechat 🤔. Strategi ini ngaruh kayaknya, tapi bukan ngaruh sengaruh dia berhenti chat. Tapi interaksi kami untuk balas chat jadi jauuuh lebih lama dari biasanya.
Teman macam apa yang ngirim dry text ke teman yang dia anggap dekat? Kenapa harus rumit bikin strategi ini-itu kalau toh strategi ini-itu cuma jadi alasan buat menghindar? Apa yang lagi dijaga dari hubungan macam ini? That friendship bullsh*t excuse you tried to believe in?? Kenapa ga yang gampang aja langsung bilang aja ke orangnya begini-begitu.
Ga tau. Ga bisa.
Sebenarnya tau dan sadar bahwa cara paling jelas ya dibilang, karena manusia ga bisa baca pikiran orang lain. Tapi entahlah, ga tau kenapa ragu-ragu aja bawaannya.
Sampai akhirnya vitiligo aku di tangan kanan dan kaki kanan menyebar lebar.
Kalau dari pengalaman kayaknya sebaran segini adalah jenis-jenis vitiligo yang ga mungkin ilang. Mungkin hilang kalau Allah berkehendak (harus tetap optimis). Tapi yaa, sebenarnya ini cukup eye opening buatku bahwa “masalah perasaan” ini harus segera diselesaikan.
Selain itu, meskipun dulu aku pernah sesumbar bahwa aku cocok banget pake shampooku sekarang, ga rontok, ga ketombean, ga lepek blablabla. Salah satu musuh kesehatan rambut itu yaa dari stress & beban pikiran berlebih. Selain vitiligo aku yang menyebar (biasanya nambah kalau stress atau kena matahari berlebih – untuk sementara baru ini yang bisa dicurigai sebagai trigger kemunculannya), rambut aku pun rontok parah. Another realization bahwa, indeed, aku kepikiran soal ini to the point tubuh aku bereaksi.
Road to Closure
A few months ago. In the middle of our friends council life events update.
“Kenapa ga lo aja yang nembak dia?”, tanya temen.
“Gw sempet kepikiran opsi ini. Tapi jujur, setiap gw pikir hasilnya : either ditolak atau diterima, buat gw hasilnya pasti ga satisfying. Gw aware sebenarnya norma masyarakat soal ini: soal perkara laki-laki yang harus nembak duluan itu udah obsolete. Gw pun ngerasa gapapa kalau perempuan yang nembak. Kayak misalnya kawan kita (nama disamarkan), dia bangga kalau dia yang nembak dan dia yang ngelamar. Menurut gw dia keren. Gw pengen kayak dia, tapi buat case ini gw ga bisa.”
“…kenapa?”
“Entahlah. Setiap gw pikir gw lah yang harus nembak, badan gw bereaksi aja gitu jadi kerasa mual. Dan gw harus akui bahwa ada perasaan dalam diri gw yang ga bisa terima (bahwa gw yang harus nembak). Gw pikir-pikir, kenapa bisa muncul perasaan kayak gini, toh cewe nembak juga gapapa. Apa gw udik? apa gw kurang modern pemikirannya apa gimana.
Tapi akhirnya gw tau kenapa.
Pertama, ini mungkin pengaruh kenal udah lama. Jadi sebenarnya agak bisa diprediksi reaksinya. Beda sama kalau baru kenalan atau kenalan dari dating app. Ketika lo nembak, pihak seberang kan punya 2 pilihan, nolak atau nerima. Kalau ditolak gw tuh udah kebayang cara dia nolak gw:
*impersonating*
“Aku tuh ga yakin aku baik buat kamu” nyenyenye nyenyenye
“Aku aja ga yakin sama diriku sendiri apa aku bisa jadi suami yang baik atau ayah yang baik”
Pokoknya nolak-nolak sopan gitu deh. Soalnya kan aneh kalau nolak tapi ga ngasih alasan, tapi ga mungkin juga dia bikin alasannya gw kan : “maaf ya pik, gw ga mau sama lo karena lo jelek”. atau karena gw cerewet, atau karena gw vitiligo atau apalah. Ya cukup kita hargai ajalah dia nolak tapi juga masih berusaha ngejaga perasaan kita supaya kita ga ngerasa “sejelek itu”.
“Kedua, let’s say katakanlah diterima. Normalnya gw seneng dong kalau gw nembak diterima. Tapi tiap gw mikir skenario ini yang ada malah kayaknya gw bakal insecure seumur hidup.”
“Kok gitu?”
“Ya karena dia punya mantan dan mantan kecengan yang dia tembak-tembakin. Jadi dia tuh bisa aja nembak kalau dia mau. Dan gw juga tau kalau dia nembak atau udah suka sama cewe ya segigih itu. Udah ditolak masih dipepetin, cewenya udah jadi pacar orang pun masih ditikungin.
Gw tuh jadi ngerasa dia ga menginginkan gw tapi mungkin kalau gw nembak dan dia terima, jangan-jangan ya alasannya karena kasian aja. Atau ga tega nolak. Mungkin dia ngerasa sungkan karena selama ini juga udah jalan bareng jadi ga enak nolak. Atau mungkin karena lagi kosong aja jadi diterima. Alasan-alasan insecure itu yang muncul di kepala gw. Sulit buat gw untuk bisa percaya dia bener-bener suka dan serius sama gw unless dia ngasih confession serius. Somehow gw pengen liat cara dia untuk nunjukin keseriusannya ke gw”.
“Jadi lo mau nungguin aja?”
“Iyalah kayaknya.”
“Sampai kapan?”
“………….akhir tahun? Kayaknya kalau di umur baru gw masih hts-an sama dia mungkin gw bakal sibuk ngebego-begoin diri gw sendiri. HTS-an 2 tahun itu sounds so stupid sih. Sayangnya ini kejadian sama diri gw sendiri, sial. Gampang emang kalau ngatain orang lain, tiba kejadian sendiri jadi berasa dilemanya. Emang butuh keberanian sih buat keluar dari status quo.”
“Haha, iya sih. Ntar kayak gw digantungin 3 tahun berasa wasting time banget jadinyaa. Apalagi di umur-umur kita yang udah segini.”
Ketika netizen punya istilah “Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya”, maka versiku adalah : Kutinggal pas lagi sayang-sayangnya. Somehow kedengaran agak stupid, kenapa ditinggal kalau memang sayang? Ya karena engga jelas.
The Aftermath
And the time passed by and it’s end of the year already. Akhirnya aku berhasil memberanikan diri dan menyampaikan closure ke dia. Responnya?
“Owh, udah ada lamaran?”
“Engga sih.”
Ada perasaan campur aduk baca pertanyaan dia. Kamu pikir aku mundur karena ada laki-laki lain? Oh, how I wish it was true! Sulit buatku melihat laki-laki lain sementara di dalam hati mungkin aku masih mengharap yang satu itu. Dan mungkin dia sudah memprediksi ending seperti ini, ketika aku ninggalin dia karena sudah ada yang lain. Karena dari dulu setiap aku dijodohin pasti dia selalu support.
Saat kita masih berteman dulu, ada pertanyaan yang sering dia tanya kalau semisalnya aku curcol atau misuh-misuh. “Gimana perasaanmu sekarang?” “Ada yang masih mengganjal?”.
Mungkin diam-diam aku berharap dia nanya seperti itu. Sedikit penasaran dari keputusan yang aku sampaikan. Tapi enggak, selain lamaran dia ga nanya apa-apa lagi. Kita saling maaf-memaafkan, berdoa untuk kebahagiaan satu sama lain.
Besoknya, dia delete kontakku dari phone booknya. Delete telegram, deactivate akun ig. Pokoknya apapun akses kontak antara aku dan dia. Sejujurnya aku agak kaget karena niatnya jaga jarak malah berasa putus silaturahmi. Mungkin karena aku ga pernah ngerasain “putus” juga jadinya ga biasa sama hal-hal kayak delete contact, block account dll. Sempat kepikiran mungkin dia kesal sama aku karena ngasih “keputusan sepihak”, ngerasa irritated dan perlu nge-shut off semua hal yang berhubungan denganku. Tapi mungkin bisa jadi dia menghapus kontakku dll itu yaa emang buat bantu aku move on. Who knows.
Mudah-mudahan dengan ini, batin aku bisa sadar dan ikhlas kalau antara aku dan dia sudah ga ada harapan lagi. Kali ini benar-benar aku ga punya pilihan selain move on.
He was so sweet. But we weren’t meant for each other. Ternyata aku hanya mampu segini.
Dipikir-pikir, aku yang belakangan beredar di sekitar dia bikin dia jadi ga punya pacar selama bertahun-tahun. Padahal sebelumnya, dia adalah tipe yang “kosongnya ga lama”. Dia pernah cerita sering insecure untuk ke tahap selanjutnya mostly karena dia ngerasa finansialnya kurang. Gak pede sama net worth dan tabungannya. Tahun depan, mungkin dia udah naik jabatan dengan gaji yang lebih tinggi. Dan dengan aku yang udah ga beredar di sekitarnya, dia mungkin akan lebih leluasa untuk memilih perempuan yang sesuai untuk hati & seleranya. Dan dengan gajinya yang bertambah mungkin akan lebih siap untuk ke jenjang yang lebih serius. Insha Allah.