Journal

Cooking is not my forte


Kayaknya kita harus bisa membedakan masak sebagai survival skill dan masak sebagai skill.

Masak sebagai survival skill pada dasarnya kita dapat mengolah bahan-bahan makanan yang tersedia supaya bisa dimakan dan termakan. Termakan di sini maksudnya rasanya ga aneh absurd bikin selera makan hilang atau malah amit-amit muntah. Namun, masak sebagai skill menuntut kita lebih dari itu, cooking skill menuntut kita untuk dapat memasak enak, baik untuk kita maupun orang lain.

Tapi, survival skill kan skill juga? Ya iya, cuma sebenarnya saya ga ada ide aja membedakan skill masak enak vs skill masak kepepet. Survival skill (atau tadi yang sempat saya sebut skill masak kepepet) biasanya mengacu pada masak dengan bahan apa aja yang tersedia. Sementara skill masak enak (atau kita sebut ajalah talent skill) itu sebaliknya, bahan-bahannya dipersiapkan dulu, kalau ga ada ya terpaksa beli dulu.

Melatih talent skill otomatis meningkatkan kemampuan survival skill karena kita lebih banyak terpapar resep. Jadi ketika kita masuk survival mode misalnya ketika musti habisin stok makanan di kulkas atau ga bisa keluar beli makanan atau ga bisa delivery food, kita bisa tetap makan dengan bahan-bahan yang tersedia tanpa harus membeli bahan lainnya untuk suatu masakan dan masakan yang dibuat lebih proper dan bervariasi daripada orang yang kemampuan talent skill nya rendah.

Kebetulan sayalah orang yang talent skill-nya rendah itu.

Setiap orang tanya Vriske bisa masak? Ya saya jawab ga bisa, karena asumsinya mengacu kepada talent skill tadi. Mana ada saya tau resep. Ngikutin resep pun ga ada yang mau makan selain saya sendiri.

Kadang suka overthinking aja : oh ya mungkin gw ga nikah2 karena emang gapunya waifu skill. Jadi gw ga perlu sedih ngelihat suami atau anak ga mau makan hasil usaha masakku. Dan si suami juga ga perlu terpaksa makan masakan yang ga enak.

Sebenarnya ya ada aja suami yang bisa nerima istri yang ga bisa masak, misalnya kayak Alm. B.J Habibie yang bilang ke Bu Ainun “Kamu masak stetoskop pun akan saya makan”. Tapi buat dapet suami semanis Eyang Habibie rasanya cuma bisa mimpi dan ngarep aja. Pun saya pun tidak memiliki sifat-sifat dan nilai-nilai plus Bu Ainun.

Memang betul kayaknya yang bilang kalau masak itu harus pake cinta. Cinta masaknya, cinta makannya. Saya sendiri merasa kalau masak dalam kondisi santai no pressure biasanya hasilnya lebih oke daripada masak tapi ada pressure (misalnya masak untuk tamu/keluarga). Gitu juga kalau yang makan juga penuh cinta alias lahap makannya. Tapi ya namanya selera itu kan cenderung jujur ya, kita bisa lihat kok kalau orang ga suka tapi “berusaha” menghargai. Ya sedih, tapi maklumin aja dan mau gimana lagi juga kan.

Sebenarnya kuncinya ada di berlatih & terus mencoba. Tapi ga tau ya, rasanya nyodorin masakan kita setelah berkali-kali di-reject orang lain rasanya udah males aja, mungkin udah trauma kayaknya. Semacam ga mau sedih aja gitu. Kayak misalnya kemaren, ada resep yang udah sering saya coba dan rasanya udah pede mungkin berhasil. Keluarga juga udah bilang “ya dicoba aja mulai masak dulu, gagal itu biasa”. Tetep aja ga ada yang nyentuh dan membusuk di kulkas. Sedih juga sih. Auk ah.

In my defense, masak sebagai survival skill sih rasanya saya bisa2 aja dengan catatan ya untuk dimakan sendiri aja. Tapi kalau semisal ada di dalam grup tentu saya akan menyerahkan urusan masak-memasak ini kepada yang lebih ahli. Saya mungkin bisa bantu2 di hal-hal yang prosesnya lebih jelas kayak potong-potong, oseng-oseng, atau cuci piring.

Share on:

with love,

vriske rusniko | @vriskerusniko |vriske@windowslive.com

Thank you for all the readers! If you like the content and want to support, you can donate via Ko-fi (Global) or Trakteer (Indonesia)

Postingan selanjutnya

Situationship

Home
Journal
Design
Others
Search