Journal

Efek Media


Kadang saya merasa bersyukur mengambil S2 di bidang Digital Media, sebab ilmu-ilmu yang diperoleh tentang per-media-an itu sendiri membantu saya menekan tombol “pause” diri saya sendiri terhadap konten-konten yang tersedia. Mungkin dengan semakin terbukanya pengetahuan kita tentang efek-efek yang menempel pada media memberikan kebijaksanaan bagi bagaimana merespon efek tersebut.

Sejujurnya mengamati masyarakat begitu reaktif terhadap berita di media membuat saya agak sedikit capek juga melihatnya. Bukan masalah pro-kontra tapi lebih kepada reaksi yang dirasa berlebihan, baik dalam menyampaikan kesetujuan atau ketidaksetujuan. Rasanya tidak ada salahnya menekan tombol “pause” sebelum kita benar-benar meledakkan emosi atau pemikiran kita terhadap berita tersebut alias over-reactive. Tombol “pause” itu berfungsi agar reaksi kita tidak semata-mata mengedepankan emosi, namun juga memberi waktu untuk menyiapkan reaksi yang lebih baik dengan cara yang lebih bijak.

Jadi, apa saja efek-efek yang dapat diakibatkan media? Berikut penjabarannya

Reaksi Kolektif / Kepanikan Moral

Media memiliki efek memunculkan kecemasan yang tidak berdasar tentang berbagai isu. Seperti : Hukum, politik, kesehatan, tatanan publik, dlsb. Reaksi kolektif juga memberikan efek dalam penentuan atensi masyarakat.

Misalnya kasus vaksin palsu. Kasus vaksin palsu membuat masyarakat tidak percaya kepada institusi pemerintah seperti Dinas Kesehatan dan BPOM atas persebaran vaksin dan obat yang beredar di masyarakat dan juga pada rumah sakit. Ketika isu ini berlangsung maka atensi masyarakat akan berfokus pada pihak-pihak terkait tersebut.

Perubahan Sikap

Media sanggup memodifikasi sikap seseorang terhadap orang lain.

Contohnya adalah jika ada status facebook A (yang dalam hal ini facebook sebagai media) direspon secara offensive (menyerang) oleh si B, padahal mereka dalam kehidupan sehari-hari baik-baik saja dan tidak ada masalah. Sikap offensive B dapat mengubah sikap A terhadap B, begitupun sebaliknya.

Perubahan Kognitif

Media memiliki efek mengubah cara orang berpikir, cara orang menilai berbagai hal bahkan memodifikasi kepercayaan-kepercayaan.

Contohnya : kepercayaan bahwa perempuan berkulit putih itu lebih cantik daripada warna kulit lainnya. Cara berpikir dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tercipta suatu stigma bahwa berkulit gelap membuat perempuan terlihat “lebih kusam” daripada wanita berkulit putih.

Tanggapan Emosional/Reaksi Personal

Merupakan bagian yang lebih kecil dari reaksi kolektif. Singkatnya, kumpulan reaksi-reaksi personal yang sama akan membentuk suatu reaksi kolektif.

Penetapan Agenda

Media memiliki efek menetapkan agenda topik-topik yang penting.

Penetapan agenda ini mengajak bahkan cenderung memaksa masyarakat untuk mengikuti agenda tersebut, dan bahwa hal ini lah saat ini yang layak menjadi fokus kita semua.

Sosialisasi

Media memiliki efek mensosialisasikan kepada kita berbagai norma, nilai dan prilaku yang diterima dalam masyarakat kita. Contoh : Sosialisasi pengurangan penggunaan kantong plastik sebagai upaya melindungi alam/lingkungan.

Kontrol Sosial

Media memiliki efek mengontrol audiens dengan mengemukakan berbagai argumen yang menyokong konsensus, hukum, tatanan dengan menekankan, mempertanyakan serta mempertemukan berbagai argumen tersebut sesuai dengan cara-cara masyarakat beroperasi.

Hal ini maksudnya lebih kurang adalah pernyataan atau argumen-argumen tersebut dipaparkan dalam bahasa yang jelas yang dapat dimengerti masyarakat. Contohnya adalah talkshow yang mempertemukan berbagai kubu dan ahli sehingga didapat gambaran yang lebih jelas dari berbagai pihak. Contoh lebih spesifik lagi adalah acara ‘Mata Najwa’ di Metro TV 😀

Mendefinisikan Realitas

Media mendefinisikan realitas sosial, yaitu apa yang kita anggap sebagai nyata, normal dan memang semestinya.

Seperti misalnya Borobudur sebagai salah satu kebanggaan Indonesia yang sepatutnya dijaga dan dirawat. Borobudur kaya akan aspek historis, dan merupakan artefak penting bagi peradaban manusia dan sekaligus tempat keramat bagi umat Budha. Realitas yang dibangun adalah bahwa Borobudur itu penting dan harus dijagakarena faktor-faktor yang saya sebutkan di atas tadi. Hal ini akan kacau jika dikaitkan dengan sentimen bahwa Indonesia adalah negara mayoritas muslim dan Borobudur adalah tempat berhala maka harus dimusnahkan. Justru Borobudur adalah salah satu simbol bahwa Indonesia haruslah memiliki toleransi antar umat beragama karena itulah yang membuat kita kaya sebagai bangsa.
Di sinilah peran media untuk membangun kesadaran tentang realitas Indonesia sebagai bangsa yang ber-Bhineka dan Borobudur sebagai aset penting negara.

Penyokong Ideologi Dominan

Media memiliki efek menyokong pandangan dominan bagaimana suatu hal sepatutnya dijalankan. Maksud ‘Dominan’ dalam hal ini adalah sangat erat dengan penguasa.

Mirip seperti mendefinisikan realitas, tapi lebih ke arah norma/sikap. Media harus mematuhi perintah-perintah yang dianggap penting oleh penguasa yang memiliki tujuan prilaku tertentu. Contoh: proses sensor yang bertujuan melindungi pandangan masyarakat dari sesuatu yang dianggap mengundang berahi, pornografi & pornoaksi. Meskipun dalam prakteknya sering sekali absurd, ini adalah contoh bahwa stasiun televisi tetap menyokong “ideologi” tersebut, yang mana dalam hal ini penguasa adalah lembaga sensor yang berhak mencabut hak tayang suatu acara atau bahkan stasiun televisi yang melanggar.

Sumber: ‘Yang Tersembunyi di Balik Media’ oleh Greame Burton. 2008.

Share on:

with love,

vriske rusniko | @vriskerusniko |vriske@windowslive.com

Thank you for all the readers! If you like the content and want to support, you can donate via Ko-fi (Global) or Trakteer (Indonesia)

Postingan sebelumnya

Postingan selanjutnya

Tinggalkan komentar

Home
Journal
Design
Others
Search